by GRK Production
Sexual Assault 101:
Things You NEED To Know About Sexual Assault
"Berada di ruang terbuka, seperti di jalan raya, individu dapat dilihat oleh siapapun disekitarnya. Tanpa sengaja, hal ini membuat seseorang menjadi “target mudah” dari pelaku. Terkadang, untuk berada sendiri di ruang terasa tidak aman bagi beberapa orang akibat pengalaman yang dialami nya. Namun, apakah arti sebenarnya dari “pelecehan seksual”? Menurut KOMNAS Perempuan, pelecehan seksual merupakan tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban."
Bentuk Pelecehan Alasan?
Tempat & Waktu
Dampak Pakaian Terbuka?
Korban / Pelaku
​
Pelecehan Seksual
Mendengar kata pelecehan seksual mungkin sudah tidak asing lagi bagi para wanita maupun perempuan. Pelecehan seksual pun tidak hanya merujuk pada melakukan hubungan saja, akan tetapi pelecehan seksual dapat terjadi secara verbal non verbal maupun fisik. Secara umum yang dimaksudkan dari pelecehan seksual ialah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal – hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran tersebut sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti, malu, marah, benci dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut.
satu.
Bentuk Pelecehan

Terdapat banyak bentuk pelecehan yang dirasakan oleh korban, namun bentuk verbal dan nonverbal adalah bentuk yang paling sering dijumpai. “Neng, neng.. Nengok dong”, rasanya sudah cukup umum mendengar perkataan ini di ruang terbuka. Rasanya perkataan itu adalah hal normal, hal lumrah dan seharusnya bersyukur karena dianggap menarik oleh pelaku. Akibat pemikiran seperti itu, entah mengapa lama kelamaan rasa aneh, takut, berubah menjadi perasaan biasa saja. Namun, sebenarnya itu adalah bentuk pelecehan seksual secara verbal. Ada beberapa hal yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual verbal, diantaranya:
-
Penghinaan seksual, sindiran seksual, dan komentar lain tentang pakaian seseorang,
-
Lelucon yang menyinggung dan bersifat cabul atau bercanda dan bercanda tentang seks atau ciri-ciri khusus gender,
-
Komentar yang bersifat seksual tentang berat badan, bentuk tubuh, ukuran atau sosok, pakaian
Namun, jika dipikirkan kembali, apakah mungkin pelecehan seksual dilakukan secara non-verbal? Siulan yang sering kita dengar, bahkan tatapan mata yang seakan-akan melihat bentuk tubuh membuat tidak nyaman. Ada beberapa hal yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual non-verbal, diantaranya:
-
Isyarat cabul, seperti tangan atau bahasa isyarat untuk menunjukkan aktivitas seksual,
-
Menatap seseorang atau melihat seseorang dari atas ke bawah (mata angkat),
-
Menjilat bibir atau gigi, mengedipkan mata atau memberi ciuman.
Berdasarkan survey, 34% dari korban merasakan pelecehan verbal atau lisan, 13% persen merasakan pelecehan nonverbal, sedangkan sisanya merasakan keduanya.

dua.
Alasan
?
?
Alasan terjadinya pelecehan seksual pun bermacam - macam. Setiap tindakan pasti memiliki suatu alasan dibaliknya. Apapun alasan yang dimiliki oleh pelaku pelecehan seksual tidak dapat menjadi pembenaran atas apa yang mereka lakukan.
Ada beberapa alasan para pelaku melakukan hal asusila tersebut, seperti menyalurkan hawa nafsu mereka. Hal itu dapat terjadi jika para pelaku tidak bisa melampiaskan atau menahan hawa nafsu. Sering melihat konten porno juga dapat menjadi salah satu faktor tapi hal itu bukan menjadi penyebab utama. Salah satunya adalah kurangnya edukasi seksual. Tidak ada salahnya menonton film porno jika tidak merugikan orang lain. Dalam pengaruh obat - obatan atau minuman keras juga dapat menjadi faktor pelaku untuk melakukan pelecehan seksual secara tidak sadar maupun secara sadar dan sengaja. Pergaulan yang salah juga dapat menjadi salah satu faktor.
?
tiga.
Tempat dan Waktu
Pelecehan seksual tidak hanya terjadi di ruangan atau tempat tertutup saja. Pelecehan seksual pun sangat dapat terjadi di ruangan terbuka, seperti di bis, sekolah, kantor, dan sebagainya. Pelecehan seksual tidak hanya berdampak pada fisik korban saja, namun juga psikis dari korban tersebut. Ruang publik adalah ruang sosial yang umumnya terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. Contohnya seperti Jalan Raya, Transportasi Umum, Jalanan, Rumah, Kost, Kantor maupun bioskop. Biasanya pelecehan yang terjadi di ruang public adalah dimana pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah maupun perkawinan.
​
Pelecehan seksual pun tidak mengenal pagi, siang atau malam. Menurut survey yang dilakukan, 74,5% pelecehan seksual di ruang terbuka terjadi pada siang atau sore hari. Hal ini membuktikan bahwa pelaku dari pelecehan seksual pun tidak takut terlihat atau ketahuan. Sementara itu 19.1% menjawab menerima pelecehan pada malam hari dan sebanyak 6.4% lainnya menerima pelecehan seksual pada pagi hari. Dari hasil survey juga menunjukan bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi kepada pada perempuan saja, tetapi hal ini dapat terjadi kepada laki – laki. Catatan Tahunan Komnas Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2018 terjadi sekitar 2.670 kasus kekerasan di ruang public dalam bentuk kekerasan seksual


“Ah pantes lo digodain, orang pakaian lo kebuka, “makanya lo kalau pergi gak usah pake baju terbuka lah!”, dan masih banyak kalimat-kalimat lain yang menyalahkan pakaian terdengar ketika pelecehan terjadi. Entah mengapa, pakaian yang digunakan seakan disalahkan ketika dilecehkan. Pertanyaannya, apakah benar pakaian yang dikenakan seseorang berhak untuk disalahkan?
Beberapa negara di dunia telah melakukan pameran, dimana pameran tersebut menunjukkan pakaian-pakaian yang digunakan ketika pelecehan seksual terjadi. Di Indonesia sendiri, pameran ini sempat dilakukan di Bandung pada 2019 silam. Pameran yang bertajuk “Pakaian Penyintas Kekerasan Seksual” menampilkan pakaian yang digunakan korban ketika pelecehan terjadi. Selain di Bandung, di Thailand ada pameran yang sama, yaitu #DontTellMeHowToDress, kemudian negara Belgia dengan pameran “What were you wearing?” dan masih banyak lagi.
​

Belgia
Thailand
Indonesia
Ada beberapa kesamaan yang mencolok pada pameran tersebut,yaitu menampilkan pakaian yang digunakan korban saat pelecehan seksual terjadi. Namun, kesamaan lainnya adalah pakaian yang dikenakan mayoritas adalah pakaian tertutup. Bahkan, ada pakaian anak kecil yang digunakan sehari-hari.
Berdasarkan survei yang telah dilakukan peneliti, 59% korban pelecehan di ruang terbuka menggunakan pakaian tertutup ketika pelecehan terjadi. Jadi, apakah pakaian tetap bisa disalahkan? Atau ketika pelecehan seksual terjadi, pakaian bukanlah hal yang seharusnya disalahkan?

lima.
Dampak
Pelecehan seksual dapat terjadi jika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih daripada korban. Contoh kasus pelecehan seksual di ruang terbuka yaitu kantor,pelaku yang mempunyai posisi pekerjaan yang jauh lebih tinggi, dan korban merupakan bawahan dari sang korban. Hal itu dapat terjadi karena “kekuasaan” yang dimiliki oleh pelaku.
Dampak yang terjadi pada korban pun tidak semata – mata dapat dilupakan hanya dengan 1 malam saja. Dampaknya juga dapat menghantui para korban setiap harinya. Adanya perasaan selalu merasa tidak nyaman jika berada dalam ruang lingkup tertentu. Hal ini juga dapat memicu rasa panik oleh beberapa korban yang masih berjuang dengan traumanya masing – masing.
Menurut survey yang dilakukan, 9 dari 10 wanita merasakan trauma atas pelecehan seksual yang terjadi pada dirinya. Mereka cenderung menghindari kontak atau pergi ketempat yang mengingatkannya akan hal tersebut. Rasa tidak percaya diri dan rasa trauma yang diberikan dapat membuat seseorang menjadi depresi. Merasa tidak percaya diri dan masih takut akan hal yang telah menimpa para korban.

enam.
Korban
/
Pelaku
Ketika pelecehan seksual terjadi, siapa yang harus disalahkan? Apakah pelaku atau korban?
Pelaku pelecehan dapat berupa siapa saja, baik orang terdekat ataupun orang asing. Seorang peleceh dapat seorang laki-laki, perempuan, baik muda atau tua serta dari latar belakang apapun. Biasanya, seorang pelaku merasakan rasa “dominan” atau “berkuasa” dari korban yang ia pilih. Pelaku pelecehan akan mencari korban yang terlihat lebih lemah atau cenderung tidak melawan pelaku.
​
Korban yang diincar pelaku-pun dapat berasal dari berbagai latar belakang, umur bahkan jenis kelamin. Tidak selalu korban adalah perempuan, namun laki-laki pun dapat menjadi korban pelecehan seksual di ruang terbuka. Korban yang mengalami pelecehan seksual di ruang terbuka cenderung merasakan rasa takut, tidak nyaman dan merasa tidak dihargai berdasarkan jawaban korban dari penelitian yang kami lakukan.
​
Di dunia, masih banyak korban yang disalahkan ketika pelecehan terjadi atau yang biasa disebut “victim blaming” berdasarkan penelitian dari jurnal Psychology of Women Quarterly. Artikel yang dilansir dari Verywell Mind, menjelaskan betapa bahaya nya victim blaming, dimana dapat membuat korban tidak berani untuk melapor atau melawan pelaku. Selain itu, menyalahkan korban membuat pelaku lebih merasa leluasa dan menjadi lebih predator.
​
Berdasarkan data yang kami dapat dari hasil survei, 92% responden menyetujui jika pelaku-lah yang bersalah.

Her
Perspective
